Untuk melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita hidupnya, Muhammadiyah selalu mendasarkan pada prinsip-prinsip ajaran Islam, karena adanya keyakinan bahwa hanya Islamlah ajaran yang mampu mengatur tata kehidupan manusia yang dapat membawa pada kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Keyakinan ini berdasarkan pada beberapa firman Allah antara lain dalam ayat-ayat berikut:
...إن الدين عند الله الإ سلم
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam…”(Q.S. Ali Imran : 19)
(ومن يبتغ غير الإ سلم دينا فلن يقبل منه وهو في الأ خرة من الخسرين (85
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu), dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.”(Q.S. Ali Imran : 85)
...آليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكمم آلإ سلم دينا ...
“…Pada hari ini telah Kusempunakan bagimu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu…”(Q.S. Al-MAidah : 3).
1. NILAI-NILAI dan AJARAN SOSIAL KEMANUSIAAN MUHAMMADIYAH (TAULOGI AL-MAA’UN)
Ayat yang menjadi landasan bagi gerakan-gerakan sosial dalam Islam, itulah Al-Ma'un. Surah ini pendek, ayatnya tidak banyak, hanya sekitar tujuh ayat. Tapi maknanya yang menggetarkan dada, tidak sekadar menjadi bacaan di kala shalat fardhu, melainkan juga memberikan inspirasi-inspirasi untuk melahirkan sebuah kesadaran kolektif: kesadaran atas realitas sosial yang timpang.
Al-Maun dibuka dengan sebuah pertanyaan -lebih tepatnya sindiran: Tahukah engkau dengan para pendusta agama? Frase yang digunakan oleh Al-Qur'an terasa sangat menohok: "pendusta agama". Kita tentu akan penasaran: siapakah mereka yang dihardik oleh Al-Qur'an dengan ungkapan "pendusta agama" itu?
Ayat kedua dan ketiga memberikan penjelasan. Pertama, orang yang menghardik anak yatim (ayat 2).Kedua, menolak memberi makan orang miskin (ayat 3). Buya Hamka memberi tafsir atas ayat ini dengan kata "menolakkan". Di dalam ayat kedua tertulisyadu'-'u (dengan tasydid), artinya yang asal ialah menolak. Kata tersebut ditafsirkan orang lain dengan "menghardik" atau sejenisnya, tetapi kata Hamka yang lebih tepat adalah "menolakkan". Kata "menolak" itu bermakna membayangkan kebencian yang sangat.
Artinya, jika seseorang merasa benci dengan anak yatim karena keyatimannya, berarti ia mendustakan agama. Sebabnya ialah rasa sombong dan rasa bakhil, menurut Hamka. Membenci anak yatim berarti membenci keber-asal-an Nabi Muhammad. Sebab, Nabi adalah anak yatim, yang dipinggirkan oleh keluarganya, hidup dengan menggembala, berkutat dengan kemiskinan di masa kecilnya.
Islam adalah agama yang sangat menghargai kesetaraan; egaliterisme. Islam menolak stratifikasi sosial-ekonomis; yang berarti meminggirkan orang miskin dan anak yatim dalam sistem sosial yang bertingkat. Anak yatim adalah mereka yang malang; tak mampu mengelak dari takdir bahwa kasih-sayang yang ia terima akan jauh, disebabkan oleh ayah dan ibu mereka yang telah tiada. Atau, tidak memberi porsi perhatian kasih-sayang pada kita.
Menghardik anak yatim adalah refleksi kesombongan-diri. Merasa diri lebih baik. Dan Allah menolak kesombongan. Oleh sebab itu, mereka yang sombong dan bakhil -seperti kata Hamka- dengan menghardik anak yatim sebagai simbolisasi, patut diucap sebagai "pendusta agama".
Dan ini menunjukkan pula bahwa Islam adalah bervisi kemanusiaan. Dan visi kemanusiaan ini harus diterjemahkan ke dalam amal nyata. Dengan memberi makan orang miskin yang memerlukan, dan mengutamakan sifat individualis, berarti seseorang telah melanggar visi kemanusiaan. Ialah "pendusta agama". Agama bukan hanya bersifat vertikal, terkungkung dan terpenjara di mesjid. Agama ialah kemanusiaan yang membebaskan dan mencerahkan.
Itulah potret-potret pendusta agama. Ayat berikutnya, dengan lebih lantang, mengatakan pada kita: Maka celakalah orang-orang yang salat! Bagaimana mungkin, pengabdian transendental seorang muslim, melalui shalatnya kepada Allah, disebut sebagai perbuatan yang tidak hanya sia-sia, tapi juga mencelakakan?
Ada tiga parameter celakanya (wail) orang-orang yang shalat (ayat 4-7). Pertama, mereka yang lalai dalam shalatnya (ayat 5). Kedua, mereka yang berbuat riya' (ayat 6). Ketiga, mereka yang menolak memberi pertolongan. Buya Hamka menafsirkan bahwa "lalai" berarti shalat tanpa diikuti oleh kesadaran sebagai hamba Allah. Kata Buya Hamka: "Saahuun; asal arti katanya ialah lupa. Artinya dilupakannya apa maksud sembahyang itu, tidak didasarkan atas pengabdian kepada Allah, walau ia mengerjakan ibadah. Ibadah tanpa kesadaran, adalah sebuah kelalaian, begitu tafsir Buya Hamka. Kesadaran penting, manakala kita melakukan purifikasi atas niat beribadah itu.
Mereka yang berbuat riya' berarti menodakan niat ikhlasnya pada sesuatu yang bukan pada Allah; menisbatkan sesuatu yang seharusnya dipersembahkan pada Allah -shalat, ibadah- justru kepada benda ciptaan Allah. Shalat dalam kerangka ini hanya membawa kecelakaan. Kata Buya Hamka, kadang-kadang dia menganjurkan memberi makan fakir miskin, kadang-kadang kelihatan dia khusyu' sembahyang; tetapi semuanya itu dikerjakannya karena ingin dilihat, dijadikan reklame. Dalam bahasa yang lebih moderen, shalat hanya dijadikan citra; untuk kekuasaan, untuk amal keduniaan.
Menolak memberi pertolongan adalah bentuk kezaliman yang lain lagi. Orang-orang yang mendustakan agama selalu mengelakkan dari menolong. Sebab, kata Buya Hamka, tidak ada rasa cinta di dalam hatinya. Yang ada ialah rasa benci! Memberi pertolongan adalah wujud kemanusiaan. Dan menolak memberi pertolongan, membiarkan orang lain dalam kesusahan, melawan hakikat kemanusiaan.
Riya', kata Buya Hamka, adalah simbol kebohongan dan kepalsuan, sementara menolak memberi bantuan adalah simbol individualisme dan kezaliman. Dua-duanya, adalah refleksi pendusta-pendusta agama. Sehingga, wajar jika Sayyid Quthb dalam tafsirnya menyebut bahwa Al-Ma'un memperlambangkan pertemuan dimensi sosial dan ritual agama. Ini menunjukkan bahwa agama pada hakikatnya bersifat transformatif, mewujud ke seluruh sel-sel kehidupan nyata.
Maksud mengamalkan surat al-Ma’un. Menurut beliau, mengamalkan bukan sekadar menghafal atau membaca ayat tersebut. Namun, mengamalkan berarti mempraktikkan al-Ma’un dalam bentuk amalan nyata. “Oleh karena itu", lanjut KH Ahmad Dahlan, “carilah anak-anak yatim, bawa mereka pulang ke rumah, berikan sabun untuk mandi, pakaian yang pantas, makan dan minum, serta berikan mereka tempat tinggal yang layak. Untuk itu pelajaran ini kita tutup, dan laksanakan apa yang telah saya perintahkan kepada kalian".
KH Ahmad Dahlan lantas mengajak murid-muridnya mencari anak yatim, dan kemudian melaksanakan apa yang sudah difirmankan Allah tersebut. Dari sana, lahirlah Muhammadiyah dengan amal usahanya, yang kini telah genap melampaui satu abad usianya dengan Muktamar di Yogya tahun lalu. Inilah teologi Al-Ma'un, landasan bagi gerakan sosial Islam. Dan dimensinya yang universal menembus batas jama'ah, menembus batas ormas, bahkan menembus batas-batas agama. Fastabiqul Khairat.
2. GERAKAN PEDULI FAKIR MISKIN DAN ANAK YATIM
Tujuan dakwah Muhammadiyah adalah meningkatkan kualitas hidup manusia. Segala amal usaha Muhammadiyah digerakkan untuk tujuan tersebut. Hal ini bukan tidak beralasan, tetapi sejak pendirian Muhammadiyah upaya - upaya KH Ahmad Dahlan yang dilandasi dengan dasar ayat al- Qur’an dan Hadits, mampu menggerakkan dinamika kehidupan masyarakat Islam di bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial-budaya. Salah satu contoh, dengan memperaktekkan surat al- Ma’un, KH Ahmad Dahlan secara organisatoris menggerakkan usaha - usaha riil dalam bidang ekonomi untuk mengangkat dan mengentaskan kemiskinan umat Islam. Gerakan ini mendorong inspirasi bagi warga Muhammadiyah dalam upaya mewujudkan kepedulian terhadap mustadh’afin melalui berbagai bidan dan cara.
3. BENTUK DAN MODEL GERAKAN SOSIAL KEMANUSIAAN MUHAMMADIYAH
1) Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan misalnya, hingga tahun 2000 ormas Islam Muhammadiyah telah memiliki 3.979 taman kanak - kanak, 33 taman pendidikan Alquran, 6 sekolah luar biasa, 940 sekolah dasar, 1.332 madrasahdiniyah / ibtidaiyah, 2.143 sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP dan MTs), 979 sekolah lanjutan tingkat atas (SMA,MA, SMK), 101 sekolah kejuruan, 13 mualimin / mualimat, 3sekolah menengah farmasi, serta 64 pondok pesantren. Dalam bidang pendidikan tinggi, hingga tahun ini Muhammadiyah memiliki 36 universitas, 72 sekolah tinggi,54 akademi, dan 4 politeknik (Data Cahgemawang, 2009).
Nama-nama seperti Bustanul Athfal/TK Muhammadiyah, SD Muhammadiyah, SMP Muhammadiyah, SMAMuhammadiyah, SMK Muhammadiyah, dan UniversitasMuhammadiyah bermunculan di berbagai daerah.
2) Bidang Kesehatan
Dalam amal usaha bidang kesehatan, Muhammadiyahtelah dan terus mengembangkan layanan kesehatanmasyarakat, sebagai bentuk kepedulian. Balai-balaipengobatan seperti rumah sakit PKU (PembinaKesejahteraan Umat) Muhammadiyah, yang pada masaberdirinya Muhammadiyah bernama PKO (PenolongKesengsaraan Oemat), kini mulai meningkat baik kuantitasmaupun kualitasnya. Berdasarkan buku Profil dan Direktori Amal Usaha Muhammadiyah & ‘Aisyiyah Bidang Kesehatanpada tahun 1997, sebagai berikut :
a. Rumah sakit berjumlah 34
b. Rumah bersalin berjumllah 85
c. Balai Kesehatan Ibu dan Anak berjumlah 504. Balai Kesehatan Masyarakat berjumlah 115. Balai Pengobatan berjumlah 846. Apotek dan KB berjumlah 4
3) Bidang Kesejahteraan Sosial
Hingga tahun 2000 Muhammadiyah telah memiliki:228 panti asuhan yatim, 18 panti jompo, 22 balaikesehatan sosial, 161 santunan keluarga, 5 pantiwreda/manula, 13 santunan wreda/manula, 1panti cacat netra, 38 santunan kematian, serta 15 BPKM (Balai Pendidikan Dan Keterampilan Muhammadiyah).
4) Bidang Kaderisasi
• Peningkatan kualitas pengkaderan
• Melaksanakan program pengkaderan formal dan informalsecara berkelanjutan
• Menyelenggaraka baitul arqam dan darul arqamMuhammadiyah
• Tranformasi kader per jenjang dan per generasi
• Sinergi Building antar unit persyarikatan untuk kaderisasi
Contoh kaderisasi/organisasi dalam Muhammadiyah: aisyiyah, pemuda muhammadiyah, IPM, IMM, Tapak Suci Muhammadiyah